Ka’bah adalah bangunan berbentuk kubus yang menjadi pusat ibadah seluruh umat Islam di dunia. Ka’bah juga diketahui sebagai bangunan tertua yang pertama kali didirikan atas wujud kemuliaan dan keberkahan. Dari sana, dapat dimaknai bahwa Ka’bah merupakan kesatuan arah kiblat umat Islam dalam menyembah dan mengesakan Allah Swt. Oleh sebab itu, Ka’bah kemudian dikenal dengan sebutan Baitullah (rumah Allah) dan al-baitul al-atiq (bangunan tertua). KH Syafi’i Hadzami dalam bukunya Taudhihul Adillah menjelaskan bahwa maksud Baitullah (rumah Allah) bukan diartikan Allah bersemayam di Ka’bah. Akan tetapi, hal itu merupakan idhafah bait li at-tasyrif, yakni penyandaran kata ‘rumah’ kepada ‘Allah’ untuk memuliakan. Dengan begitu, sebutan ‘rumah Allah’ dalam Ka’bah diartikan sebagai rumah yang banyak dilimpahkan padanya rahmat Allah Swt. (Syafi’i Hadzami, Taudhihul Adillah: Fatwa-fatwa Muallim KH Muhammad Syafi’i Hadzami, Buku 5, [Jakarta, PT Elex Media Komputindo, 2010] halaman 119).1
Ka’bah ialah kiblat bagi seluruh umat Islam di seluruh dunia dalam menunaikan kewajiban utama, yaitu sholat. Supaya ibadah salat kita paripurna, penting buat kita buat mengenali sejarah di balik pembangunan tempat suci tersebut. Mengapa tempat itu dibangun serta gimana sejarah pembangunannya?
Tujuan Pembangunan Ka’bah
Mengutip buku The Greatest Stories of Al-Qur’an yang ditulis oleh Syekh Kamal As Sayyid, pertama kali Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As. Keduanya membangun Ka’bah secara perlahan. Mula-mula, Allah Swt memerintahkan keduanya untuk membangun Ka’bah sebagai lambang cinta mereka kepada Allah. Nabi Ibrahim dan Ismail pun saling kerja sama membangun Ka’bah selama berbulan-bulan.
Selain itu, ada pula sumber yang menyebut bahwa Ka’bah dibangun untuk melindungi Hajar Aswad, yakni batu hitam yang datangnya dari surga. Di masa kini, Ka’bah menjadi tempat ibadah yang dikhususkan hanya untuk hamba Allah. Untuk itu, salat menghadap ke Ka’bah menjadi satu tanda ketaatan dan kesatuan umat Islam di seluruh dunia, dan bukan berarti menyembah Ka’bah.
Sejarah Pembangunan Ka’bah
Merujuk buku The Great Episodes of Muhammad Saw yang ditulis oleh Dr. Said Ramadhan al-Buthy, para ulama sepakat bahwa Ka’bah telah mengalami pembangunan atau rehabilitasi sebanyak empat kali.
1. Ka’bah Dibangun Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
Pertama, pembangunan Ka’bah dilakukan Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As. Hal ini sesuai dengan QS Al-Baqarah ayat 127 yang menyebut bahwa Nabi Ibrahim meninggikan fondasi Ka’bah. Kala itu, Nabi Ibrahim meninggikan bangunan Ka’bah hingga 7 hasta, dengan panjang 30 hasta, dan lebar 22 hasta. Sementara itu, pendapat lain menyebutkan kalau tinggi Ka’bah yang sebenarnya adalah 9 hasta. Di masa itu, Ka’bah belum dilengkapi dengan atap.
2. Pembangunan Ka’bah oleh Kaum Quraisy
Kedua, pembangunan Ka’bah dikerjakan Kaum Quraisy. Beberapa tahun sebelum Rasulullah Saw diangkat menjadi Nabi, banjir bandang menerjang Mekkah hingga menyebabkan sebagian dinding Ka’bah roboh. Kaum Quraisy kemudian membangun kembali Ka’bah yang rusak tersebut. Nabi Muhammad yang saat itu diperkirakan berusia 35 tahun, juga turut serta dalam pembangunan Ka’bah. Beliau mengangkut batu di atas pundaknya dengan beralaskan selembar kain. Beliau bahkan sempat tersungkur ketika membawa batu-batu tersebut.
Saat pembangunan telah selesai, suku-suku berselisih untuk menentukan suku mana yang paling berhak untuk meletakkan Hajar Aswad ke tempat asalnya. Nabi Muhammad kemudian mengusulkan agar Hajar Aswad ditaruh di atas selembar kain. Kemudian, perwakilan dari suku-suku yang berselisih itu masing-masing memegang ujung kain untuk kemudian mengarahkan batu hitam itu ke tempat semula. Pada akhirnya, semua orang sepakat dengan usul Nabi Muhammad.
Pada pembangunan kedua ini, Ka’bah ditinggikan hingga 18 hasta, namun panjangnya dikurangi menjadi sekitar 6,5 hasta (dari sebelumnya 30 hasta). Ka’bah dibiarkan dalam area Hijir Ismail. Sebetulnya Nabi Muhammad “tidak sepakat” dengan pembangunan Ka’bah yang dilakukan Kaum Quraisy. Pasalnya, pembangunan tersebut mengubah posisi Ka’bah sebagaimana ketika dibangun Nabi Ibrahim. Namun, Nabi Muhammad memilih untuk menahan egonya atas kebenaran sejarah, dengan mendahulukan kepentingan masyarakat secara luas.
3. Pembangunan Ka’bah di Masa Khalifah Yazid bin Muawiyah
Ketiga, pembangunan Ka’bah pada masa Khalifah Yazid bin Muawiyah. Pada akhir tahun 683 M, pasukan Yazid bin Muawiyah di bawah komando al-Hushain bin Numair as-Sakuni menyerbu Abdullah bin Zubair dan pengikutnya di Mekkah. Peperangan itu menyebabkan sebagian besar dinding Ka’bah roboh dan terbakar. Abdullah bin Zubair lalu meminta saran kepada yang lain, terkait dengan pembangunan Ka’bah. Apakah dibangun bagian-bagian yang rusak saja atau diratakan semuanya, baru kemudian dibangun kembali.
Setelah menerima beberapa usulan, Abdullah bin Zubair akhirnya meratakan Ka’bah dengan tanah. Ia kemudian membangun tiang-tiang di sekelilingnya dan menutupinya dengan tirai. Abdullah bin Zubair juga menambah bangunan Ka’bah sebanyak 6 hasta, dari yang dulu dikurangi Kaum Quraisy. Ia juga menambah tingginya menjadi 10 hasta sekaligus membuat dua pintu. Satu pintu untuk masuk, sementara pintu lainnya untuk keluar. Ia berani melakukan ini, merombak bentuk dan posisi Ka’bah, karena mengikuti hadis Nabi Muhammad Saw berikut:
“Wahai Aisyah, seandainya kamu bukanlah orang-orang yang baru saja berlalu dari kemusyrikan, (dan saya tidak memiliki biaya untuk pembangunannya), (niscaya saya akan menginfakkan simpanan Ka’bah ke jalan Allah, dan) niscaya saya akan merobohkan Ka’bah dan meratakannya dengan tanah. (Kemudian akan aku bangun di atas pondasi Nabi Ibrahim). Saya akan menjadikan dua pintu baginya. Satu pintu di sebelah timur (sebagai pintu masuk) dan satu pintu lainnya di sebelah barat (sebagai pintu keluar). (Saya akan meratakannya dengan tanah). Saya akan menambah luasnya enam hasta lagi dari Hijir Ismail.” (HR. Bukhari)
4. Pembangunan Ka’bah Usai Abdullah bin Zubari Wafat
Keempat, pembangunan Ka’bah dilakukan setelah Abdullah bin Zubari wafat. Setelah Abdullah bin Zubari terbunuh, al-Hajjaj melaporkan kepada Khalifah Dinasti Umayyah saat itu, Malik bin Marwan. Ia menyebut bahwa Ibnu Zubair telah mendirikan pondasi Ka’bah yang diperselisihkan oleh para pemuka Mekkah.
“Kalau tinggi bangunan yang dia (Abdullah bin Zubair), biarkan saja. Namun, panjang bangunan itu yang meliputi Hijir Ismail, kembalikanlah seperti semula. Dan tutuplah pintu yang dia buka,” bunyi perintah Malik bin Marwan kepada al-Hajjaj. Al-Hajjaj kemudian meratakan dan membangun kembali Ka’bah seperti sebelum Abdullah bin Zubair mengubahnya.
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa pembangunan Ka’bah dilakukan sebanyak lima kali. Pembangunan pertama dikerjakan oleh Nabi Adam As. Pendapat ini didasarkan pada riwayat al-Baihaqi dari Abdullah bin Umar. Di situ disebutkan bahwa Nabi Adam diperintahkan oleh Allah untuk membangun rumah bagi-Nya. Walllahu a’lam..
Semoga dari ulasan terkait sejarah Ka’bah dan pembangunannya di atas, kita dapat memahami keberadaan Ka’bah sebagai kiblat umat Islam dari seluruh penjuru dunia. (Dompet Dhuafa/Ustaz Ahmad Fauzi Qasim/Ronna)2